• Kisah Inspiratif : Asa Gadis Anak Buruh (oleh : Zuhriyatul Hidayah)



    Asa Gadis Anak Buruh
    Oleh : Zuhriyatul Hidayah




      

    Hujan semalam masih meninggalkan denting-denting gerimis yang jatuh di ember itu. Dentingnya saling bersahutan dari ke empat ember itu, untung sajagentengnya tidak bocor tepat di tungku pemasaknya. Wanita 40 tahun itu tetap tersenyum melakukan rutinitasnya, memasak nasi dan lauk pauk untuk sarapan pagi.
    Denting gerimis tidak lagi terdengar, dikalahkan oleh mentari yang telah mekar dari kuncupnya. Selesai memasak, wanita itu membuat secangkir kopi untuk lelaki kurus yang tidak pernah bangkit dari tidurnya kecuali untuk sholat. Wanita 40 tahun dan lelaki kurus itu tiada lain adalah ibu dan ayahku, yang biasa dipanggil Inaq  Sadri dan Amaq  Sadri oleh orang-orang di desa kami.  Selesai sarapan aku dan Linda adikku telah bersiap-siap berangkat ke sekolah dengan seragam putih abu-abu dan seragam putih biru. Ibupun telah pergi ke sawah bersama kelompok buruhnya untuk panen padi. Rumah menjadi sepi hanya ayah yang selalu berbaring sakit  menggigil kedinginan. Itu selalu yang ia rasakan dan tidak pernah mau dibawa ke dokter untuk berobat. Mendengar cerita ibu, ayah adalah pekerja keras yang tidak pernah mengistirahatkan diri bahkan telah lima kali
    menjadi TKI demi bisa membeli tanah dan membangun rumah hingga ia sakit bertahun-tahun dengan tubuh yang tidak berdaging lagi. Kini ibu harus menjadi tulang punggung untuk menghidupi kami dan membiayai sekolahku dan adikku. Aku juga mempunyai tiga kakak laki-laki yang ikut membantu uang sekolah kami, tapi hanya sekedar karena mereka juga telah berkeluarga dengan kehidupan yang pas-pasan hingga mereka pun pergi menjadi TKI di Malaysia. Keadaan itu membuatku memilih melanjutkan sekolah di MA Sakinatul Walidain NW Borok Gerung di kecamatan Suralaga, Lombok Timur. Meski banyak teman-teman yang menghina dan menyayangkan prestasiku selama bersekolah di MTs malah harus melanjutkan sekolah di MA pelosok yang baru menamatkan dua kali dengan fasilitas seadanya. Jujur pada awalnya semua itu membuatku tidak pernah bersemangat untuk belajar. Namun, aku tersadar bahwa aku juga harus berani bermimpi dan mewujudkan mimpi itu karena sejatinya bukan sekolah yang membuat kita cerdas dan sukses, tapi keinginan itu sendiri. Keinginan untuk berubah dan keinginan untuk berguna serta bermamfaat bagi orang lain. 
    Tahun berganti tahun aku semakin haus akan prestasi, di setiap lomba aku selalu meminta bapak atau ibu guru untuk mendaftarkanku. Meski sering kalah, tapi tidak membuatku surut selangkahpun karena menurutku cerdas bukanlah hanya milik mereka yang mendapat nilai bagus di rapot, tapi juga milik mereka yang membawa prestasi melalui kompetisi. Kini aku telah berada di tahun terakhir masa SMA, membuatku tidak berani membuang waktu semenitpun kecuali belajar dan
    membaca buku mengingat UN tinggal beberapa bulan lagi. Hari-hariku di sekolah mulai dipadatkan dengan menjawab tes soal UN yang telah lewat. Uang jajan dua
    ribu rupiah yang selalu mengisi saku bajuku selalu habis untuk meng-copy tes.
    Beberapa hari yang lalu aku juga menerima peringatan dari sekolah untuk segera membayar uang ujian sebesar lima ratus ribu. Tentu aku tidak memberitahu ibuku tentang hal itu. Hatiku terlalu sakit dan selalu menangis melihatnya bekerja sendiri untuk membiayai sekolah kami. Bahkan kulitnya mulai kusut menghitam setiap hari berada di bawah terik matahari. Ia terlihat lebih tua dari usianya seperti wanita berumur 50 tahun. 
    Keesokan harinya, tiga Dosen STKIP Hamzanwadi Selong datang ke sekolah kami untuk sosialisasi. Gambaran tentang kampus tersebut dijelaskan sangat detail oleh ketiga Dosen itu. Mereka juga memberikan kami informasi tentang beberapa beasiswa yang ada di kampus itu. Ada satu jenis beasiswa yang membuatku sangat ingin mendapatkannya, beasiswa Bidikmisi untuk mahasiswa miskin dan berprestasi. Hal itu membuatku semakin berani bermimpi untuk kuliah. Aku juga telah mengisi formulir pendaftaran yang diberikan oleh dosen bernama bapak Fauzi dengan memilih jurusan pendidikan Matematika.  Tiga hari menegangkan telah berlalu, UN terlaksana dengan lancar meski harus melakukan UN di MA lain karena sekolah kami belum terakreditasi, tapi semangat kami tidak pernah kendur apalagi gengsi karena harus menumpang. Libur sekolah ku isi dengan menyibukkan diri untuk bekerja ikut dengan ibu sebagai buruh tani. Selain itu, ketika ada tetangga yang membangun rumah kami pasti diminta untuk bekerja mengangkut pasir dan batu. Kami sangat bersyukur dengan itu, setidaknya kami bisa mengerjakannya di malam hari  karena siangnya kami bekerja di sawah. Sungguh itu pekerjaan yang sangat berat bagi wanita, tetapi keinginanku untuk membayar tonggakan uang ujian lebih besar dari itu.  
    Mentari mulai redup lagi, awan hitam menutup sebagian wajahnya membuat suasana siang ini sejuk dan mendamaikan. Aku dan ibu semakin gesit memetik cabe sebelum hujan turun menghentikan pekerjaan kami.  sembari memetik cabe aku bercerita tentang kuliah gratis bermodal prestasi dan beasiswa. Kuceritakan perlahan dengan harapan agar ibu yakin bahwa, aku juga bisa mendapatkan beasiswa itu. Seperti dugaanku, ibu tidak mengizinkan dan tidak akan pernah setuju karena keadaan ekonomi keluarga kami. Meski begitu aku tetap memutuskan untuk segera mengumpulkan persyaratan beasiswa itu. Lalu, ku antar ke rumah bapak Fauzi di Suralaga selaku dosen Matematika kampus tersebut. Tak lupa dia juga memberitahuku untuk menyiapkan uang registrasi ulang sejumlah 2,7 juta. 
    Sebelum resmi menjadi alumni aku mengikuti LCCP (Lomba Cipta Cerpen Pelajar) Bupati Cup se-Lombok Timur karena aku juga gemar menulis cerita dan puisi. Pada acara hari peringatan Pendidikan Nasional di Selaparang TV Lombok Timur bulan Mei 2015 karya terbaik anak Sasak diumukan. Sungguh moment itu tidak bisa dilupakan, karyaku masuk nominasi sepuluh besar dari ratusan peserta. 
    Rasa syukur tak henti kuucapkan karena karyaku yang berjudul “Kumbang Putih” telah diterbitkan yang tercover dalam buku Tangisan Lembain. Hadiah dengan
    sejumlah uang lima ratus ribu kusimpan untuk membayar registrasi ulang. Aku juga bekerja sebagai guru privat anak tetanggaku, tapi tetap saja tidak cukup. Ku coba lagi berkali-kali meyakinkan ibu bahwa aku akan kuliah dengan modal beasiswa karena ku yakin seorang ibu tidakkan henti mendoakan kebaikan untuk anaknya. Melihat keinginanku yang amat besar, ia pun mengizinkanku untuk kuliah dan memberikan sejumlah uang untuk mencukupi pembayaran registrasi tersebut.  Setelah sabar menunggu berminggu-minggu aku menerima informasi dari bapak Syahibul Ahyan selaku ketua PMB bahwa aku terpilih sebagai penerima beasiswa Bidikmisi. Jika kita menginginkan sesuatu yang baik dengan niat yang baik dan ikhlas serta selalu berusaha dan berdoa, maka Allah akan menggerakkan seluruh isi alam ini untuk memudahkan jalan kita menggapainya. Keterbatasan finansial bukanlah alasan “jalan buntu” untuk tidak melanjutkan studi. Air mata terus menetes pertanda syukur atas keajaiban yang diberikan. Beasiswa Bidikmisi menjadi perahu mahasiswa berprestasi menuju samudra kesuksesan.
    Bulan Juli, aku mulai menjejaki kaki di kampus hijau “Berdaya Saing Dan Berbudaya Santri”. Kabut-kabut kemalasan tidak sedikitpun menggelapkan jalanku. Ini bukan hanya efek menjadi mahasiswa baru, tapi lebih dari itu karena aku berhasil merakit perahu yang akan mengantarku menuju samudra kesuksesan, harapku. Pagi-pagi sekali aku telah berada di kampus, di ruang A103 lantai pertama. Sebenarnya jam kuliah hari ini dimulai pukul 08.00, tetapi karena numpang diantar oleh adik sepupu yang sembari pergi ke sekolah. Berhari-hari seperti itu, semuanya sangat asing dan memang asing. Aku tidak punya teman untuk diajak janjian ketemu di kampus untuk pulang bareng. Aku tidak punya teman yang bisa kuhampiri di kos untuk sekedar menunggu jemputan. Membuatku menunggu berjam-jam di lorong kampus menunduk ditemani buku dan sering kali nongkrong di perpustakaan hampir tutup, sampai-sampai diminta keluar oleh Pustakawan.  Jujur aku merasa berada di lingkar mahasiswa-mahasiswa hebat yang dengan gampangnya menjawab dan mengkritisi pertanyaan-pertanyaan dan soal-soal yang diberikan oleh para dosen. Sedangkan, aku adalah satu titik kecil yang tak terlihat oleh ruas-ruas garis lingkaran itu. Aku juga harus bergerak membuat garis yang tak berujung meski nyatanya aku harus belajar dari awal karena kemampuanku lebih kepada pelajaran umum dan sosial dibandingkan dengan keahlian Matematikaku yang tidak sedalam mereka. Semua berjalan sangat cepat dan singkat. Aku pun memberanikan diri untuk mengikuti tes seleksi Olimpiade Matematika ke Bali. Sayangnya aku tidak pernah lolos seleksi. Pun aku juga sering mengikuti lombalomba  online. Entah, menulis karya sastra atau karya ilmiah dan aku juga tidak pernah lolos ataupun menang. Sekali lagi, aku tidakkan menyerah hanya karena kalah. Karena jika aku mundur mengikuti kekalahan itu, maka aku tidak akan pernah berhasil memperbaiki diri. Aku tidak akan berbalik arah hanya karena badaibadai kecil menggoyahkan perahuku.
    Di tengah kesibukan melakukan kegiatan organisasi dan UKM di kampus, mengikuti kegiatan mengajar Matematika Goes to School, melakukan kegiatan lomba PIMPEL (Pekan Ilmiah Mahasiswa dan Pelajar) dan berbagai kegiatan lainnya. Tidak membuatku lupa akan akademik meski 24 jam terasa tidak cukup untuk aktivitasku. Namun, setiap prioritas dan rutinitas telah kupangkas dalam My Daily Schedule yang membuat semuanya berjalan efektif dan efisien.  Jalani proses dengan jujur, sabar dan ikhlas. Bingkai perjuangan dengan penuh semangat dan tekun, maka yakinlah semua urusan akan dimudahkan. Itulah yang membuat ambisi ini terus membesar dan membesar walau banyak orang-orang di lingkunganku selalu berkata ”Besar Pasik daripada Tiang” kujadikan suntikan semangat yang sangat luarbiasa. Sejatinya, hal yang menjadi visi-misiku untuk kuliah adalah lingkungan tempat tinggalku yang berhasil membuatku keras kepala meski kutahu ekonomi keluarga tidaklah cukup membiayai. Lingkungan yang lebih banyak anak-anak putus sekolah dan surganya pernikahan dini.  Lingkungan yang telah ditanamkan ”Sekolah ndek molah, bikin susah banyak masalah”. Bukan karena orangtuanya tidak mampu membiayai, tapi karena mereka lebih bangga melihat anak-anaknya bekerja menghasilkan uang, sehingga banyak yang menjadi TKI meski belum mencukupi usia kerja.   Itulah tujuan utamaku memperbaiki kualitas diri ini. Berharap bisa mengubah semua itu. Menghilangkan semua prinsip-prinsip itu dan lebih-lebih mampu mencegah pernikahan dini. Namun, aku sadar di sini aku belum bisa didengar, belum bisa memberi pengaruh karena keluargaku yang tak berjabatan di kantor, keluargaku yang tidak bertitile sarjana, sehingga orang-orang memandangku sebelah mata. Harapan itu kumulai dengan membuka Bimbel kecil-kecilan di rumah khusus Matematika dan bahasa Inggris untuk anak-anak SD. Tentu semua peralatan dan perlengkapan kubeli menggunakan uang beasiswa itu. Dengan harapan bisa mendidik mereka, bisa membuat mereka sadar bahwa belajar itu harus karena pendidikan itu penting jika ingin masa depan lebih baik. Tiada hari yang kosong, tiada libur yang sia-sia. Sepulang kuliah, aku harus mengisi Bimbel yang kini telah melebarkan sayap dan sekarang akupun memamfaatkan musholla untuk melangsungkan kegiatan rutin kami. Ditambah lagi, aku juga bekerja sebagai pelatih dramband karena di kampus aku mengikuti UKM Dramband. Setidaknya itu menambah bagian rezeki orangtua dariku. Sedangkan, malamnya kufokuskan untuk menyelesaikan tugas dan belajar. Tetap saja ada sesal, ada rasa bersalah yang memenuhi hati karena sekarang aku tidak memiliki banyak waktu membantu mereka bekerja atau sekedar memasak air. “Assalamualaikum, tiang pulang Inaq” Aku melihatnya sedang terburu-buru menyiapkan makan siang untuk kami. Telapak tangannya terasa tipis dan gemetar, badannya penuh keringat. Aku tahu ibu baru pulang bekerja. Itu sebabnya aku tidakkan pernah membiarkan setetes keringatnya jatuh sia-sia dengan kemalasan dan ulah nakalku.  Tidak terasa sekarang aku telah semester tiga. Ada pesan dari Kaprodi yang tidak bisa kulupa “Tahun depan kamu harus ikut magang ke Malaysia”. Itu bukan sekedar pesan dari beliau, tapi perintah dari diriku pula yang telah lama tertempel di dinding kamar “Semester empat, kamu harus magang ke Malaysia”. Sekarang aku mulai menyisihkan uang lebih banyak untuk ditabung. Akupun mulai melakukan persiapan dengan menambah wawasan tentang kebudayaan, melatih kemampuan bahasa Inggris dan terutama memperkaya wawasan tentang materi Matematika hingga semester empat aku telah benar-benar siap mengikuti program itu. Dengan catatan prioritas tidak terlupakan dan rutinitas tetap berjalan. Sebagai manusia kita hanya mampu merencanakan, yang menentukan berhasil atau tidaknya hanyalah Allah SWT. Jelang UAS ibu sakit dan adik Linda juga akan membayar uang UN, sehingga tabunganku harus digunakan untuk membayar semua itu. Menurutku ini adalah cobaan terberatku dalam hidup ini. Ketika melihat ibu yang berbaring lemah tak berdaya, tidak bisa berjalan sendiri dan aku harus meninggalkannya untuk kuliah. Sedangkan, ayah juga tidak terlalu sehat dan kuat untuk menjaga. Ini membuatku dilema sepanjang hari, membuatku sering terlambat mengikuti UAS. Bahkan pernah menjawab sekedarnya saja karena pikiranku yang tak menentu. Tentu itu membuatku sangat khawatir dengan IPK.
    Jika turun kurang dari tiga, maka aku akan berhenti menerima beasiswa itu. Lalu, bagaimana dengan kuliahku?.  Keyakinanku bahwa, Allah SWT tidak pernah tidur, tidak pernah sedetikpun berhenti memperhatikan makhluk-Nya. Terimakasih aku masih diizinkan menerima beasiswa ini, hingga tahun ketiga kuliah ia tetap menjadi perahu yang akan kudayung menuju samudra kesuksesan. Walaupun harapan untuk magang ke Malaysia tertunda lagi, tapi kuputuskan untuk mengikutinya saat semester enam. Tiba saat itu tabunganku  harus mencukupi. Aku akan berusaha untuk itu.

    Identitas Penulis :


    Nama     : Zuhriyatul Hidayah
    Alamat   : Dasan Borok, Kec. Suralaga, Lombok Timur, NTB
    TTL        : Dasan Borok, 10 Juni 1995
    Instansi  : Universitas Hamzanwadi
    Prodi      : Pendidikan Matematika
  • 0 komentar:

    Posting Komentar