KISAH SANG PEMIMPI
MELALUI BIDIKMISI
Oleh : Reni Permata Sari
Namaku Reni Permata Sari, biasa dipanggil Reni. Kini aku berkuliah
di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Manajemen Perkantoran.
Aku salah satu orang beruntung yang mendapat bantuan pendidikan dari ribuan
penerima bidikmisi di UPI. Sebelumnya, aku hanyalah sang pemimpi hingga
akhirnya bisa berkuliah di kampus bergengsi ini. Aku ingin menjadi guru, ingin
S2 di luar negeri, ingin punya sekolah sendiri, yang jelas aku punya banyak
impian. Namun, perjalananku sampai sini tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Butuh perjuangan, pengorbanan, dan cucuran air mata. Inilah kisahku,
kisah Sang Pemimpi.
Hidup
itu susah. Jangan dibuat tambah susah dengan mengeluh, kawan.
Prinsip itu yang selama ini aku tanamkan dalam diriku.
Kemiskinan yang melilit keluargaku sejak aku kecil membuat aku tumbuh menjadi
seorang yang tangguh dan kebal akan kerasnya kehidupan. Tuntutan ekonomi yang
tak dapat ayahku penuhi untuk membiayai keluargaku adalah penyebab perceraian
antara ibu dan ayah. Sebelum bercerai, setiap hari adalah hari yang penuh
amarah dan pertengkaran. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanyalah anak kelas
3 SMP kala itu. Yang aku bisa lakukan hanyalah membantu pekerjaan Ibu dan
menjadi anak baik. Membuat masalah bukanlah ide yang bagus mengingat kondisiku
saat itu.
Saat itu ibu, aku, dan adikku pergi dari rumah karna
banyaknya rentenir yang menagih hutang. Ayahku hanya berjualan es doger
keliling dan Ibu hanya bekerja serabutan seperti menyetrika dan mencuci di
rumah tetangga. Kami tinggal di rumah saudara ibuku yang berjualan nasi padang
di Pasar. Ibuku diberi upah 25 ribu perharinya. Upah yang menurutku tidak
sebanding dengan pekerjaannya yang harus mendorong gerobak besar ke pasar.
Melihat peluh keringatnya menetes membuat hatiku pilu. Aku bisa bantu apa
Ibu? Kapan kita tidak dikejar-kejar rentenir? Kapan kita bebas dan bisa hidup
tenang?
Masa-masa sulit itu pun dapat dilalui, entah bagaimana
caranya. Saat aku kelas 3 SMK, Ibuku menikah lagi dengan teman masa kecilnya.
Namun, hal itu tidak mengubah keadaan. Kemiskinan tetap menjerat keluarga kami.
Sementara ayahku beralih berjualan balon. Balon? Ya balon! Balon dengan beragam
jenis gambar yang bisa terbang. Ia mengambil barang dari temannya kemudian ia
jual berkeliling. Aku hanya tinggal di sebuah kontrakan atau lebih tepatnya
kos-kosan sebesar 3x4 m. Rumah yang bisa dikatakan cukup kecil bahkan jika dibandingkan dengan kamar mandi
rumah temanku. Bahkan hingga aku berumur 20 tahun, aku belum memiliki kamar
sendiri.
Suatu ketika saat aku sedang naik angkot, aku melihat
ayahku sedang berjalan dengan memegang puluhan balon ditangannya. Mukanya lesu
terpapar oleh terik matahari kala itu. Ia mengenakan sandal jepit yang ia
kaitkan dengan paku di bagian bawahnya karena sandalnya hampir putus. Kakinya
terlihat melepuh karna mengenakan sandal tipis itu. Jika aku tidak berada di
dalam angkot, pasti aku akan menangis tersedu-sedu karena tidak tega
melihatnya. Hatiku serasa teriris melihat perjuangan ayahku yang sebenarnya.
Uang 50-100 ribu yang Ia berikan kepadaku setiap minggu adalah hasilnya menahan
lapar dan bahkan tak ingin membeli sandal baru.
Saat aku kelas 3 semester ganjil, ada seorang guru baru
bernama Bu Risna. Beliau adalah guru Bimbingan dan Konseling, lulusan dari UPI!
Kampus yang aku cita-citakan sejak dulu. Cita-cita utamaku adalah menjadi
seorang guru. Aku sering sekali pergi ke ruang BK karena ingin konsultasi
bagaimana caranya agar bisa masuk universitas yang aku inginkan. Walaupun saat
itu aku masih semester ganjil, karena semangat yang membara membuatku menjadi
sibuk memikirkannya.
Aku ingin sekali berkuliah di perguruan tinggi negeri
bergengsi walaupun aku tahu aku tidak memiliki biaya sama sekali. SPP saja aku
selalu menunggak, bagaimana bisa aku berkuliah di PTN yang biayanya
berjuta-juta? Aku sudah bilang aku hanyalah seorang pemimpi. Bagaimanapun
caranya aku yakin Tuhan maha mendengar doa hamba-Nya. Dan terjawablah sudah,
ketika Bu Risna memanggilku ke ruangannya dan memberitahu bahwa ada program
Bidikmisi. Aku sangat senang dan antusias. Seakan Tuhan langsung menjawab
doa-doaku agar aku bisa berkuliah. Butuh waktu berbulan-bulan untuk mengurus
semua persyaratan Bidikmisi yang tentu mengurus waktu, tenaga, dan
pikiran.
Sebenarnya aku sama seperti kebanyakan siswa tidak mampu
yang lain. “Ibu udah ga sanggup biayain kamu. Lebih baik bantu Ibu. Kerja
aja ya ga usah kuliah,” ujar ibuku ketika aku bilang bahwa aku ingin
kuliah. Tapi aku berhasil meyakinkannya bahwa ada program bernama Bidikmisi dan
ibu tidak perlu khawatir untuk membiayaiku.
Ketika detik-detik menunggu pengumuman SNMPTN, aku sudah
bekerja selama satu minggu di Toserba Yogya sebagai kasir. Aku butuh uang, aku
tidak berleha-leha menunggu pengumuman dengan bermalas-malasan di rumah seperti
temanku yang lain. Hasil pengumumannya sungguh membuatku kecewa, aku tidak
lolos SNMPTN. Aku merasa gerbang yang terbuka kembali tertutup. Sorenya ketika
aku pulang kerja, sepupuku di Jakarta menelfon dan mengatakan bahwa ia berhasil
masuk ke Kedokteran Gigi di Universitas Indonesia. Seketika aku langsung
menangis. Aku tidak terima dengan keadaan. Kenapa aku tidak lolos? Padahal aku
sudah belajar sangat keras. Aku menyalahkan sepupuku karena dia orang berada.
Tentu dia bisa les dan tidak usah memikirkan biaya kuliah. Ya Tuhan, kapan
hidupku akan berubah? Mungkin benar kata ibuku, lebih baik aku kerja dan bantu
keluarga.
Ketika aku putus harapan, sahabatku menawarkan untuk
membeli voucher les online untuk
SBMPTN. Awalnya aku enggan, namun akhirnya aku terima karena siapa tahu ini
adalah jalan-Nya. Usahaku cukup keras kala itu. Aku harus belajar dari sore
hingga tengah malam jika aku kerja pagi atau belajar saat pagi ketika aku kerja
sore. Perjuangan selama tiga minggu sebelum tes tiba.
Perjuanganku pun membuahkan hasil. Impianku
terwujud! Aku berhasil diterima di UPI dan mendapatkan Bidikmisi. Aku percaya
bahwa Tuhan memiliki jalannya sendiri untuk menjawab doa hamba-Nya. Di sinilah
aku sekarang, menjadi seorang mahasiswa karena tak berputus asa akan keadaan. Saat
ini, dengan IPK 3,80 aku berusaha sebaik mungkin untuk berprestasi dalam bidang
akademik. Dengan Bidikmisi, dengan diberikannya kesempatan untuk berkuliah, aku
yakin Sang Pemimpi ini bisa mewujudkan impian-impian besarnya.
“Hasil tidak akan mengkhianati proses, kawan. Bagaimanapun
sulitnya hidupmu yakinlah bahwa dengan berjuang kau bisa menggapai mimpimu.”
0 komentar:
Posting Komentar